SUDAH kewajiban sebagai umat Buddha merayakan, menyelenggarakan dan mengagungkan hari Trisuci Waisak. Karena didalamnya mengandung sejarah tiga peristiwa penting yang tak dilupakan seluruh umat Buddha di dunia. Pertama, Bodhisatva Sidharta Gautama lahir di Taman Lumbini, Nepal (th.623 SM). Kedua, Bodhisatva Sidharta Gautama memperoleh pencerahan agung menjadi Samma Sambuddha (anuttara samyak sambodhi) dibawah pohon Bodhi di Budhagaya/Bodh Gaya (th.588 SM)di India dan ketiga, Buddha Sakyamuni (Samma Sambuddha) mencapai Parinibbana di Kusinara,India (th. 543 SM). Ketiga peristiwa agung tersebut terjadi pada saat yang bersamaan di bulan purnamasidhi (15 Imlek) dengan waktu yang berbeda.
Banyak aliran Buddhis yang berkembang di Asia dan begitu variatif, mulai tanggal kelahiran, pencerahan sampai parinibbana/parinirvana Buddha Sakyamuni. Pada tahun 1950, maka diselenggarakan sidang pertemuan dari semua aliran di Srilangka. Dan telah memperoleh butir kesepakatan, bahwa hari Trisuci Waisak diperingati pada waktu bulan purnama sidhi berdasarkan kalender Internasional. Sebelum kesepakatan Srilangka ada tradisi-tradisi kalangan tertentu memperingati tiga peristiwa ini pada hari yang berlainan. Sebut saja Mahayana, kelahiran Buddha Sakyamuni diperingati pada hari kedelapan bulan keempat, mencapai pencerahan menjadi Buddha diperingati pada hari kedelapan bulan duabelas, sedangkan parinirvana Sang Buddha diperingati pada hari ke lima belas di bulan dua berdasarkan lunar kalender.
Buddha Niciren Soshu, Jepang mengikuti prinsip ini, tetapi mengacu pada kalender Internasional. Contoh lain adalah, bahwa untuk tahun 2004, tahun Buddha ditetapkan Waisak 2548.
Negara-negara lain, baik yang Buddhis maupun non Buddhis, menetapkan Hari Waisak sebagai hari raya nasional/libur resmi adalah; Thailand, Myanmar, Sri Langka, Kamboja, Laos, Nepal, Malaysia, Singapura dan Indonesia. Sedangkan tradisi masyarakat Korea, menetapkan hari libur nasional dengan tanggal yang berbeda dan hanya pada hari kelahiran Sidharta Gautama saja, yakni tanggal 8 lunar.
Di dalam perayaan Waisak juga dilaksanakan upacara pemandian rupang bayi Sidharta Gautama. Pada umumnya hari kelahiran putera Sakya dari raja Suddhodana ini dirayakan, dengan posisi rupang bayi tersebut berdiri di singgasana teratai dengan tangan kanan menunjuk ke langit dan tangan kiri menunjuk bumi. Lalu rupang dimandikan dengan air dengan rendaman bunga-bunga beraneka warna, berikut persembahan bunga serta buah yang berada didepan altar. Seluruh anggota Bhikkhu sangha hadir dalam ritual upacara ini.
Peristiwa itu memang dilakukan berdasarkan realita, dimana ketika putera Sakya terlahir di Taman Lumbini, beliau dimandikan oleh Sakradan Brahma dengan air harum dan dipercikan oleh sembilan naga.
Peringatan hari Trisuci Waisak ini merupakan tonggak sejarah yang tak diabaikan begitu saja, namun hari Waisak secara ritual puja bakti sebagai upacara suci yang setiap tahun dirayakan di Candi Agung Borobudur adalah bagian bulan suci yang sakral bagi umat Buddha dalam mengembangkan spiritual yang dinamis.
Nuansa baru di keheningan batin serta intropeksi diri sangat perlu pada malam hari di saat Waisak di puncak maupun di pelataran candi. Ini mempunyai nilai keramat dalam penyucian batin yang hakiki dan mampu menembus tiga akar kejahatan (Dosa, Lobha,Moha) yang menjadikan manusia sesat, juga tak pernah terpuaskan.
Kita sebagai umat Buddha dapat melaksanakan Waisak di Candi Agung Borobudur dan harus mampu mencerminkan sikap toleransi terhadap anak bangsa ke arah persatuan dan kesatuan demi terwujudnya rasa perdamaian, kebersamaan serta membangun semangat nilai-nilai religius.
Buddha telah terlahir memperlihatkan banyak sekali peristiwa yang tujuannya supaya kita semua dapat mengikuti jejak beliau dengan menapaki jalan spiritual dan akhirnya dapat meraih pencerahan sejati
Perayaan Waisak 2548 tahun ini jatuh pada tanggal 3 Juni 2004, detik-detiknya pada pukul 11:19:24 WIB. Perwakilan Umat Buddha Indonesia yang dipimpin Oleh Ibu Dra. S. Hartati Murdaya, telah menghimpun semua aliran agama Buddha untuk tetap melaksanakan di Candi Mendut dan Candi Agung Borobudur .
Seperti tahun-tahun yang sudah, jadwal acara diawali dengan pengambilan Air berkah di area peninggalan raja yang dihuni oleh puluhan kera, di Umbul Jumprit, Jawa Tengah dan Api Dharma yang diperoleh dari kekayaan jagat alam sebagai api abadi yang tak pernah padam, terdapat di Desa Mrapen. Sedangkan hikmah yang terkandung dari air dan api ini, diambil setahun sekali dalam Waisak dari sumbernya, menjadikan makna religius, dapat menemukan kembali suatu harapan nurani, welas asih dalam sanubari, sekaligus berupaya membangkitkan kembali pancaran sinar kasih, dengan harapan keluar dari segala kegelapan.
Setelah pengambilan air dan api di kedua lokasi dilakukan doa ritual upacara suci yang dipimpin oleh Bhikkhu Sangha serta para Ketua Majelis, di ikuti umat dari masing-masing sekte/aliran, lalu dikirab menuju Candi Mendut, setelah itu disemayamkan. Pagi harinya dilakukan prosesi menuju Candi Agung Borobudur-Jawa Tengah.
Komitmen moral dan ketulusan pengabdian pada ajaran Sakyamuni Buddha inilah WALUBI membentuk sebagai pribadi yang berintegritas, dalam rangka meningkatkan hidup rukun intern umat beragama di hari Waisak. Dengan mengajak seluruh umatnya bersama tokoh para pemuka agama untuk mengikat erat tali kasih melalui nuansa pikiran dan kesucian batin. Walau WALUBI mengakui keprihatinannya atas derita bangsa akibat krisis yang terjadi, tetapi seluruh komponen umat Buddha menginginkan semua krisis segera selesai melalui doa ritual dan spiritual puja bakti Waisak Nasional 2548 yang di laksanakan di Candi Agung Borobudur.
Walubi dalam proses menciptakan kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia, baik dalam perspektif religius, p olitis maupun sosiologis. Disam ping mampu mempersonifikasikan diri dalam konteks secara objektif, dan telah disimpulkan sebagai berikut bahwa ;
1. Walubi memperkuat pelaksanaan Dharma Agama dan Dharma Negara.
2. Walubi tidak mengenal aliran utama dan non utama, semua mazhab adalah umat beragama Buddha.
3. Tidak ada intervensi di antara anggota majelis dalam Walubi.
4. Walubi menciptakan perekat bagi sekte-sekte yang berbeda melalui kegiatan sosial kemanusiaan sesuai ajaran Buddha, dengan melakukan perbuatan baik, menolong sesama manusia dan memperbaiki karma pribadi masing-masing.
5. Walubi mengutamakan persatuan dan kesatuan.
6. Walubi hanya berbentuk perwakilan ormas Budha dan bukan berbentuk fusi.
7. Walubi berpedoman pada ajaran Sakyamuni Buddha, Tripitaka dan berlindung pada Tri Ratna.
09 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar